21.5.09

Nuklir Jelas Bukan Jawaban Bagi Masalah Energi dan Perubahan Iklim

Nuklir Jelas Bukan Jawaban Bagi Masalah Energi dan Perubahan Iklim
(Sumber : Walhi)

50 tahun lalu, BATAN dilahirkan dengan berbagai harapan untuk kelak menguasai teknologi nuklir yang diprediksi akan berperan besar di masa depan. Hal ini selaras dengan berbagai janji optimis pejabat tinggi pendukung nuklir tentang tercapainya energi nuklir yang murah, bersih, aman, dan berlimpah. Namun, 50 tahun kemudian, meski telah menikmati perlindungan politik dan berbagai subsidi negara, janji tersebut justru masih jauh dari terpenuhi. Bahkan berbagai negara yang sempat terperangkap dalam janji nuklir tersebut seperti Jerman, saat ini berupaya keluar dari jalan buntu tersebut dengan mengembangkan sumber energi terbarukan.
Nuklir jelas bukan sumber energi berkelanjutan karena uranium yang merupakan bahan bakunya tidak berlimpah. Dengan kapasitas penggunaan energi nuklir saat ini, diperkirakan uranium akan habis dalam kurun waktu 34 tahun. Dan meski memiliki sedikit uranium, Indonesia diperkirakan harus mengimpornya dari negara penghasilnya, seperti Australia, Kanada, Kazakhstan, Namibia, Niger, Rusia, Brasil dan Uzbekistan.

Sementara itu, PLTN jenis Fast Breeder Reactor yang menggunakan limbah nuklir masih jauh dari penerapan secara komersial. Berbagai negara pionir teknologi FBR telah menyerah dan menutup reaktornya, termasuk di Kalkar, Jerman, yang reaktornya tidak pernah dioperasikan dan telah diubah menjadi taman hiburan seperti Ancol.

Jika melihat contoh terbaru pembangunan PLTN terbaru di negara maju, Finlandia dan Perancis, klaim pemerintah Indonesia bahwa biaya PLTN adalah sekitar 1.500 USD/kW sangat diragukan. Di Finlandia misalnya, pembangunan PLTN di Olkiluoto telah sekitar 3 tahun dihentikan sejak konstruksinya dibangun pada 2005. Hingga saat ini biayanya telah bertambah sebesar 2,3 miliar USD dari 4 miliar USD perkiraan biaya awalnya. Patut dicatat bahwa lembaga keuangan terkemuka AS, Moody's, memperkirakan biaya PLTN adalah sebesar 7.500 USD/kW.

Meskipun telah menghabiskan dana penelitian triliunan rupiah, hingga saat ini tidak ada negara yang mempunyai metode pembuangan limbah radioaktif yang aman. Dalam lima tahun terakhir misalnya, perkiraan biaya tersebut meningkat sebesar 40 miliar USD di AS dan 27 miliar pounsterling di Inggris, tanpa jaminan bahwa tempat penyimpanan tersebut akan ada.

Belum lagi faktor bahaya radiasi dari reaktor tersebut terhadap masyarakat. Sebuah penelitian resmi oleh pemerintah Jerman menunjukkan bahwa dalam keadaan normal, tingkat kanker dan leukemia pada balita yang tinggal di sekitar PLTN Jerman sangat menonjol, yakni meningkat sebesar 54% dan 74%. Tentu saja, hal itu belum memperhitungkan bila terjadi kecelakaan nuklir seperti yang pernah dialami AS dan Soviet.

Dan jika dikaitkan dengan situasi global saat ini, di mana bencana perubahan iklim akibat pelepasan gas rumah kaca (GRK) menjadi ancaman serius bagi keberlangsung kehidupan di bumi, nuklir juga tidak mampu memberikan kontribusi berarti terhadap pengurangan emisi tersebut. Meski kapasitas reaktor nuklir ditingkatkan empat kali lipat (dari 2.600 TWh/tahun menjadi 9.900 TWh/tahun di tahun 2050), emisi GRK tereduksi hanya akan berkurang 6%. Padahal untuk mencapai kapasitas itu pun nyaris mustahil karena itu berarti sejak saat ini hingga tahun 2050 harus dibangun 32 PLTN berkapasitas 1.000 MW per tahun! Bandingkan dengan AS yang saat ini “hanya” memiliki 103 PLTN.

KEDAULATAN ENERGI

Berpaling ke nuklir jelaslah bukan jawaban bagi persoalan energi Indonesia. Sebaliknya, ia justru merupakan ancaman baru dalam membangun kedaulatan energi. Indonesia akan semakin mengalami ketergantungan dengan lingkar kapitalisme global di mana teknologi, sumber pembiayaan (utang luar negeri) dan bahan baku energi sepenuhnya dikendalikan oleh pihak asing. Pada saat yang sama, sumber energi Indonesia terus terkuras tanpa bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.

Pemerintah Indonesia jelas keliru jika betul-betul memilih nuklir sebagai sumber energi. Patut diingat bahwa ke- 439 reaktor nuklir komersial yang saat ini beroperasi diseluruh dunia hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik dunia sebesar 15%. Dalam hal Indonesia, penggunaan energi nuklir pun hanya menggantikan 2% penggunaan energi lainnya. Tentu saja hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah dikorbankan untuk membangun sebuah PLTN. Bahkan sebaliknya, Indonesia akan jatuh ke dalam perangkap nuklir.

Oleh karena itu, untuk itu sehubungan dengan ultah BATAN yang ke-50 ini, demi kemaslahatan bangsa dan kedaulatan energi Indonesia, kami meminta pemerintah:
menghentikan rencana penggunaan nuklir sebagai sumber energi
mengalihkan segala pembiayaan dan tenaga ahli di bidang nuklir untuk mengembangkan sumber energi yang benar-benar terbarukan dan berkelanjutan yang memang dimiliki dari Sabang hingga Merauke, seperti mikrohidro, angin, tenaga surya, geothermal, dll.

"Energi nuklir bukanlah obat mujarab untuk mengatasi pemanasan global. Meski anda kesampingkan masalah penyimpanan limbah jangka panjang dan bahaya kecelakaan dan kerentanan serangan teroris, anda masih punya dua masalah yang lebih sulit. Pertama adalah biaya. Kedua adalah proliferasi senjata nuklir. Selama 8 tahun saya di Gedung Putih, setiap masalah proliferasi senjata nuklir adalah terkait dengan PLTN.”
Al Gore,
(Mantan Wapres AS, Pemenang Nobel Perdamaian 2007, penulis dan bintang film dokumenter pemanasan global, “An Inconvenient Truth”)

Related Post



0 komentar:

Posting Komentar