Selamat Datang di Blog Swapala - Kalijaga

Swapala Kalijaga merupakan kelompok pencinta alam (PA) yang berbasis di SMA Negeri 1 demak.. Merupakan salah satu dari bagian kegiatan ekstra kurikuler pilihan bagi siswa SMA Negeri 1 demak. Kelompok yang berdiri pada tanggal 09 September 1999 ini kini mulai berkembang menjadi kelompok yang tidak hanya berkegiatan di bidang petualangan saja..

Dasar-dasar Mountaineering

Mountaineering berasal dari kata “mountain” yang berarti gunung. Mountaineering adalah kegiatan mendaki gunung yang terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu : Hill Walking. Merupakan perjalanan pendakian bukit-bukit yang landai, tidak mempergunakan peralatan dan teknis pendakian

Tehnik Dasar Navigasi Darat

Menurut penjelasan pada “Diktat Badan Diklat Wanadri”, navigasi darat adalah penentuan posisi dan arah perjalanan baik di medan sebenarnya maupun pada peta. Berkaitan dengan pengertian tersebut, pemahaman tentang kompas dan peta serta cara penggunaannya mutlak harus dikuasai.

Tehnik Hidup di Alam Bebas

Untuk dapat menikmati kehidupan alam bebas yang memang kadang-kadang penuh dengan resiko, tidak ada jalan lain selain memahami karakteristik alam tersebut. Gejolak-gejolak yang di timbulkan oleh alam memerlukan suatu teknik untuk mengatasinya.

Mendaki Secara Tim Atau Solo?

Kegiatan pendakian gunung sejatinya adalah sebuah kegiatan tim atau bersama. Hal itu dikarenakan kita harus memperhitungkan segala aspek resiko yang mengikuti kegiatan pendakian gunung ini. Akan tetapi tidak sedikit pula yang melakukan kegiatan pendakian gunung ini secara individu atau solo.

30.6.09

Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup

Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.

Jenis Sampah

Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sapah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.

Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.

Alternatif Pengelolaan Sampah

Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.

Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.

Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.

Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.

Tangguang Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah

Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.

Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.

Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)

Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.

Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.

Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.

Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.

Produksi Bersih dan Prinsip 4R

Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah:

Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:

* Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
* Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
* Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
* Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami.

22.6.09

Masa Depan Tanpa Nuklir Untuk Indonesia

Masa Depan Tanpa Nuklir Untuk Indonesia
sumber : Greenpeace

Jakarta, Indonesia — Setelah melakukan peluncuran komik di Jepara April lalu bersama Muria Institut dan kelompok masyarakat, Pada Minggu 21 Juni 2009 Greenpeace meluncurkan komik itu di gedung komunitas Salihara Jakarta selatan. Komik yang saat ini sudah dapat di lihat dalam bentuk cetak rencananya akan di distribusikan ke sekolah-sekolah di wilayah Jepara dan sekitarnya dimana PLTN akan dibangun.

Aksi teater yang di tampilkan oleh solar Generation menceritakan alur dari kisah Hidam dan Jaumai (pemeran utama di Komik Nucelar Meltdown - Pesan dari Kegelapan.

Tenaga nuklir telah disalah persepsikan sebagai solusi untuk mengatasi perubahan iklim. Industri nuklir saat ini sedang melakukan upaya putus asa, mencoba mencitrakan nuklir sebagai pilihan energi masa depan, kepada anak-anak muda melalui skema kehumasan global. Tetapi, anak muda Indonesia lebih pintar dari yang dikira oleh para pelaku industri nuklir, mereka faham bahwa tenaga nuklir itu berbahaya, mahal, teknologi terbelakang yang tak menawarkan apa pun sebagai solusi mengatasi perubahan iklim.

Greenpeace sendiri menyambut baik pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Magelang beberapa waktu lalu, bahwa dia tidak setuju pembangunan reaktor nuklir selama masih ada alternatif, serta pernyataan Perusahaan Listrik Negara (PLN) awal minggu ini, bahwa mereka tidak melihat tenaga nuklir sebagai pilihan salah satu dari sekian banyak sumber energi Indonesia di masa mendatang.

Indonesia mempunyai simpanan energi geothermal terbanyak di dunia, dan sudah punya rencana untuk mensuplai 5 gigawatt energi dari geothermal ini pada 2014. Greenpeace mendesak pemerintah untuk meningkatkan target energi terbarukan, seperti geothermal, angin, matahari, mikro hidro, sekaligus meningkatkan kualitas hukum dan peraturan, yang selama ini menjadi batu sandungan terbesar dalam investasi di bidang energi terbarukan.

Peningkatan besar energi terbarukan, penghentian penggunaan batubara, dan penghapusan rencana pembangunan reaktor nuklir, harus dikombinasikan dengan implementasi program efisiensi energi berskala besar. Ini satu-satunya solusi yang bisa membawa kita terhindar dari bencana iklim, dan memberikan masa depan yang kita inginkan bersama

Indonesia saat ini hanya memanfaatkan kurang dari 5% dari potensi energi terbarukan yang ada. Greenpeace menggaris bawahi kebutuhan akan kepemimpinan negara yang kuat untuk membuat peraturan akan penggunaan energi terbarukan secara massal. Sebagai perbandingan, China yang pada tahun 2005 mengimplementasikan Undang-Undang Promosi Energi Terbarukan, berhasil membawa negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia itu menjadi negara yang paling maju dan cepat dalam mengembangkan tenaga angin, dan sangat membantu China menurunkan tingkat emisi dengan sangat cepat.

11.6.09

SANITASI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA

SANITASI SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Oleh Surya (alumni swapala angk. Perintis)

Persoalan penyediaan sanitasi yang baik bagi masyarakat sudah tidak
bisa ditunda. Sebab masalah sanitasi berkolerasi positif dengan
timbulnya berbagai penyakit semacam diare, ispa (infeksi saliran
pernafasan atas), demam berdarah, tuberculosis. Angka kematian dari
penyakit ini sungguh mencengangkan.
Di dunia, minimnya akses air bersih serta buruknya sanitasi dan
perilaku tidak sehat berkontribusi terhadap kematian 1,8 juta orang
per tahun karena diare. Sebanyak 90 persen angka kematian akibat diare
terjadi pada anak dibawah umur lima tahun (balita).
Untuk Indonesia, menurut Survei Demografi tahun 2003, sekitar 19
persen atau 100.000 anak balita meninggal karena diare.
Pada tahun 2006, tercatat 423 per 1000 anak balita terserang diare satu hingga
dua kali dalam setahun. Padahal, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
94 persen kasus diare dapat dicegah dengan meningkatkan akses air
bersih, sanitasi, perilaku higienis, dan pengolahan air minum skala
rumah tangga.
Hampir 80 persen rumah tangga di perkotaan menggunakan tangki septik
untuk menampung tinja manusia. Namun, penggunaan tangki septik
tersebut jauh dari syarat memenuhi standar kesehatan. Akibatnya
ratusan juta penduduk berada dibawah ancaman diare akibat bakteri E
coli yang mengontaminasi sumber air bersih. Data Departemen Kesehatan
menunjukkan, diare menjadi penyakit pembunuh kedua bayi dibawah lima
tahun atau balita di Indonesia setelah radang paru atau pneumonia.
Kualitas air minum buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1.000
penduduk.
Sanitasi buruk dituding sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri
E coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Bakteri E coli
mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi terjadi
pada air tanah yang banyak disedot penduduk di perkotaan, dan sungai
yang menjadi sumber air baku di PDAM pun tercemar bakteri ini.
Sementara itu, masalah sanitasi belum dijadikan prioritas pembangunan
oleh para pengambil keputusan. Hal itu tampak dari alokasi anggaran
yang minim. Tak heran, sanitasi di Indonesia sampai sekarang masih
terhitung buruk. Sesungguhnya perwujudan tersedianya sanitasi yang
memadai beserta perilaku hidup sehat masyarakat merupakan
langkah-langkah preventif terhadap ancaman berbagai macam penyakit.

Langkah preventif ini ternyata lebih efektif menjauhkan dari
penderitaaan si sakit juga dari segi biaya yang dikeluarkan pihak
pemerintah untuk anggaran kesehatan. Daripada anggaran tersedot
membangun rumah sakit, penyediaan obat-obatan, penyediaan dokter dan
perawat, lebih tepat mengurangi angka timbulnya penyakit dengan
membangun sarana air bersih, tangki septik yang baik, dan gizi yang
mencukupi. Ini bukan berarti menampik perangkat kesehatan tersebut
melainkan mengubah cara berpikir kita mengenai makna sehat itu
sendiri.